Mencintai Allah, Menjadikan Rasulullah Sebagai Teladan dan Al-Qur'an Sebagai Pedoman
بسم الله الرحمن الرحيم
Hidup tak selalu merasa bahagia dan bahagia. Ada kalanya Allah
mencobakan pada diri kita, untuk bertemu dengan episode fitnah, kebencian dan
efek samping dari rasa iri pada diri orang lain yang tak menyukai kita. Hal itu
kadang mau tak mau memaksa diri untuk harus melaluinya, walau dengan bagaimana rasanya hati dan keadaan logika. Dan bagaimanakah sikap
terbaik bagi kita saat harus harus menjadi pelakon dari semua itu?
Seluruh rentetan polusi fitnah yang mampir di telinga, akan dengan mudah pergi, sebelum mereka meninggalkan bekas jejak mereka di hati orang- orang yang selalu Mengingat kebesaran dan Maha sempurnanya Allah Subhanahu Wataala. Dan ketika mereka berbuat salah dan menyakiti sesama, sebelum orang lain menghujat dan menjelaskan tentang kesalahannya, maka hati nuraninya sendiri yang akan mengingatkan dan menghukumnya. Maka dari itu, dengan mudahnya pula, meluncur kata maaf sera
Seluruh rentetan polusi fitnah yang mampir di telinga, akan dengan mudah pergi, sebelum mereka meninggalkan bekas jejak mereka di hati orang- orang yang selalu Mengingat kebesaran dan Maha sempurnanya Allah Subhanahu Wataala. Dan ketika mereka berbuat salah dan menyakiti sesama, sebelum orang lain menghujat dan menjelaskan tentang kesalahannya, maka hati nuraninya sendiri yang akan mengingatkan dan menghukumnya. Maka dari itu, dengan mudahnya pula, meluncur kata maaf sera
Dan semua hanyalah masalah waktu. Waktu yang akan menguji
keseriusan seseorang tentang seberapa benar yang telah dikatakannya benar. Dan
waktu pula yang akan menjawab, tentang kamuflase kebenaran yang memang pada awalnya
ditunjukkan sebagai benar, apakah tetap benar, dan atau berakhir dengan
sebaliknya. Akhirnya, waktu pula yang akan memberi kesimpulan akhir tentang
suatu pendapat kita. Lalu, mengapa kita masih
harus bersedih dengan sebuah fitnah atau perkiraan manusia yang hanya berdasar
pada referensi pikiran dan indra mereka yang sangat terbatas. Dan sudahkah kita
mendahulukan ridho Allah dan pendapatNya, atas sesuatu yang kita perbuat atau
kita ucapkan?
Sejarah telah mengukir sebuah kisah mulia, dari
pribadi yang dirindukan oleh surga, Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam, yang
dari beliau kita bisa mendapatkan banyak pelajaran dari sebaik- baiknya
panutan. Tak terkecuali tentang keanggunan dan kedamaian beliau dalam
menghadapi fitnah, kebencian, permusuhan, dan hal- hal negatif lain yang
digariskan Allah untuk menjadi cobaan dalam hidupNya.
Dan kemuliaan itu terwujud dalam indahnya akhlak
beliau yang seakan menjadi mutiara dalam hati orang beriman. Mutiara tentang
ketinggian budi, yang membedakannya dengan sebuah batu. Mutiara yang bisa tetap
muncul dan bersinar, walaupun dia dipaksa untuk ditenggelamkan dalam lumpur.
Dan jadilah nama beliau terabadikan hingga akhir jaman, sebagai seorang pribadi
yang identik dengan mulia, sesosok manusia yang disegani lawan dan di hormati
kawan, dan bahkan sangat dirindukan surga.
Semua adalah karena kesholehan beliau, serta
akses kuat hatiNya yang selalu bergantung penuh kepada yang Maha Hidup, Dan
yang maha melihat, Allah Subhanahu Wataala. Tiada sama sekali kekhawatiran akan
predikat penyair gila, tukang sihir, dan atau pendusta, yang telah disematkan
kepada beliau dari orang- orang kafir. Yang beliau Lakukan hanyalah percaya,
mengemban risalahnya akan menuai fitnah dan tidak disukai kebanyakan manusia,
ini berlaku kepada semua utusan Allah dan pengikutnya semua adalah bagian dari
renca dikala mereka menyerukan untuk tunduk kepada Allah dan memilih jalan
hidup yang Allah redhoi yaitu Al Islam, seperti yang telah Allah firmankan
dalam Al Quran yang mulia, "Katakanlah (Muhammad), tidak akan menimpa
kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung
kami, dan hanya kepada Allah bertawakal orang-orang yang beriman."
(QS. At Taubah: 51).
Ini
berlaku kepada mereka yang mencintai Allah dengan sebenarnya, menjadikan
Rasulullah SAW sebagai teladan dan pemimpin sebaik-baiknya di dunia dan akhirat.
Segala ujian akan nyata dengan cahaya ilmu, dimana ia bisa membedakan yang
benar dan salah. Dimana ia bisa membedakan ketinggian Islam sebagai genggaman
jalan kehidupan diseluruh dimensi kehidupan. Amanah sebagai khalifahnya
didunia, akan diminta pertanggung jawaban, baik dari seluruh panca indera,
apakah sesuai dengan perintah-Nya dalam Al Qur'an dan As Sunnah (Ust. H. Yusuf
Mansur)
Unduh tulisan di sini
Comments
Post a Comment
Selamat berkunjung di blog saya, terima kasih.